MAKALAH
KEANEKARAGAMAN PENERJEMAHAN USLUB
DALAM BAHASA ARAB
Dosen pengampu : Ustadz Talqis
Nurdianto L.c., M.A.
Disusun oleh :
Luqmanur Rizal ( 20140820006 )
Assidiqi Noor Fahmi ( 201408200 )
Aqidah Alan Nisa ( 201408200 )
Putri Arbiati Nugrahaini (
20140820023 )
Pendidikan Bahasa Arab
Fakultas Pendidikan Bahasa
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
2015
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama
Allah yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji
syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah dan
Inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tarjamah
dengan judul “Keanekaragaman penerjemahan uslub dalam bahasa arab “ ini.
Shalawat berangkaikan
salam, tak lupa pula kita haturkan kepada Nabi Agung Muhammad Saw. Beserta
sahabat dan keluarga beliau.
Makalah tarjamah ini
telah kami susun secara maksimal dengan mendapatkan bantuan dari berbagai
sumber guna memperlancar pembuatan makalah ini. Harapan kami, semoga makalah
ini dapat memberikan pengetahuan, ilmu dan pengalaman baru bagi para pembaca.
Terlepas dari semua
itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima segala kritik dan saran dari para pembaca agar ke depannya
makalah ini dapat tersusun dengan lebih baik lagi.
Akhir kata, semoga
makalah tarjamah ini dapat memberikan manfaat dan juga inspirasi bagi kita
semua, terimakasih.
Yogyakarta,
21 November 2015
Pemakalah
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Makna uslub ialah cara atau
gaya bahasa yang dipakai oleh seseorang untuk menuangkan pokok-pokok pikiran
dan perasaannya melalui untaian kata dan ditujukan kepada para pembaca dan
pendengar. Ranah pembahasan uslub sebenarnya termasuk dalam pembahasan
tentang gramatika. Dalam kasus bahasa arab, kajian uslub ada dalam nahwu
(sintaksis). Karena, substansi pembahasan uslub berkisar kepada
pembahasan kalimat, juga merupakan wilayah nahwu. Di dalam menerjemahkan bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaranpun para penerjemah cenderung menggunakan uslub
yang berbeda-beda. Pada makalah ini, kami menyajikan penggunaan uslub yang
berbasis nahwu yang meliputi pembahasan seputar jumlah fi’liyah, taqdim dan
ta’khir, fi’il ma’lum dan fi’il majhul.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan jumlah fi’liyah beserta kaidahnya ?
2. Apa yang
dimaksud dengan fi’il ma’lum dan fi’il majhul ?
3. Apa yang
dimaksud dengan Taqdim dan Ta’khir dan kaitannya dengan jumlah fi’liyah ?
C.
Tujuan Penulisan
Uslub merupakan gaya bahasa yang kerap
kali digunakan oleh seorang penerjemah. Terdapat berbagai keanekaragaman
penerjemahan uslub di dalam bahasa arab. Dan ini merupakan ranah yang
cukup luas. Untuk itu, bagian kecil dari keanekaragaman tersebutlah yang akan
kami bahas di dalam makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Jumlah Fi’liyah
Jumlah
Fi’liyah menurut bahasa terbagi menjadi dua kalimat, yaitu jumlah yang artinya
kalimat dan fi’liyah diambil dari kata Fi’il dan Ya’ nisbah.
Adapun Fi’il (kata kerja) artinya Al Hads
(kejadian, peristiwa) dan menurut istilah artinya kata yang menunjukkan
suatu makna dan terikat dengan tiga masa yaitu, masa lampau, masa sekarang, dan
masa yang akan datang.
Jumlah Fi’liyah
terdiri dari Fi’il dan Fa’ilnya atau Fi’il dan Naib Fa’ilnya :
1.
Fi’il dan Fa’ilnya
Tarkib Fi’il dan Fa’il adalah bentuk susunan kalimat
yang diawali Fi’il kemudian Fa’ilnya, Fi’il adalah kata kerja dan Fa’il adalah
isim (kata benda)/Subjek yang dibaca Marfu’/Rafa’
yang terletak sesudah Fi’ilnya.
Contohnya:
Telah pulang khalid
dari pasar
|
رجع خالد من السوق
|
1.
|
Telah pulang faridah
dari pasar
|
رجعت فريدة من السوق
|
2.
|
Telah pergi seorang
murid (L) itu ke sekolah
|
ذهب تلميذ إلى المدرسة
|
3.
|
Telah pergi dua
orang murid (L) itu ke sekolah
|
ذهب تلميذان إلى المدرسة
|
4.
|
Telah pergi
murid-murid (L) itu ke sekolah
|
ذهب التلاميذ إلى المدرسة
|
5.
|
Telah pergi
guru-guru (L) itu ke sekolah
|
ذهب المدرسون إلى المدرسة
|
6.
|
Telah pergi seorang
murid (P) itu ke sekolah
|
ذهبت التلميذة إلى المدرسة
|
7.
|
Telah pergi
murid-murid (P) itu ke sekolah
|
ذهبت التلميذات إلى المدرسة
|
8.
|
Baru/akan duduk
khalid di atas kursi
|
يجلس خالد على الكرسي
|
9.
|
Baru/akan mengajar
murid-murid (L) di dalam kelas
|
يتعلم التلاميذ في الفصل
|
10.
|
Baru/akan mengajar
guru (L) di depan kelas
|
يعلم المدرس امام الفصل
|
11.
|
Baru/akan duduk
faridah di atas kursi
|
تجلس فريدة على الكرسي
|
12.
|
Baru/akan pergi
orang-orang islam (L) ke masjid
|
يذهب المسلمون إلى المسجد
|
13.
|
Baru/akan pergi
orang-orang islam (P) ke masjid
|
تذهب المسلمات إلى المسجد
|
14.
|
Penjelasan
:
1.
Isim yang dibaca
Marfu’/Rafa yang terletak sesudah Fi’il dinamakan Fa’il. Dalam maknanya, Fa’il
adalah pelaku pekerjaan.
2.
Fi’il harus sesuai dengan
Fa’ilnya hanya dalam Mudzakkar dan Muannatsnya. Walaupun Fa’il berupa mutsanna
atau jamak Fi’il tetap menggunakan bentuk mufrad. Ketentuan ini berlaku bila Fa’ilnya
berupa isim dhahir (bukan isim dhamir/kata ganti), seperti contoh di atas.
3.
Ta ta’nits yang menempat
pada Fi’il Madhi apabila sesudahnya berupa kalimah atau kata yang
berawalan الmaka
ta ta’nits yang asalnya mati diberi harakat kasrah. Hamzah ال
Termasuk hamzah washal dibaca hanya bila ada di awal
kalimat. Perhatikan contoh nomor 7 dan 8.
4.
I’rab Fa’il adalah rafa’,
perhatikan tanda Rafa’ pada contoh-contoh di atas dengan mencocokan rumus pada
tabel pembagian i’rab dan tanda-tandanya.
5.
Isim apabila didahului
harfu jarrin maka dibaca majruur. Pada contoh di atas ditandai dengan kasrah
karena isim Mufrad Munsharif.
6.
Kata kerja dalam bahasa
indonesia tidak membedakan antara
laki-laki dan perempuan serta tidak membedakan waktu madhi, hal, dan
mustaqbalnya, untuk menerangkan waktu dalam bahasa indonesia dengan menambah
kata keterangan waktu.
7.
Dalam bahasa indonesia
lebih umum menyebutkan pelaku sebelum kata kerjanya. Kalimat " رجع خالد من السوق "biasa diartikan “ khalid telah pulang dari
pasar “ dalam bahasa arab kalau pelaku disebut sebelum Fi’ilnya maka dinamakan
mubtada’ dan Fi’il beserta Fa’ilnya (baik isim dhahir maupun isim dhamir)
menjadi khabar. Jarr majruur pada kalimat
" رجع خالد من السوق " Ta’alluqnya
adalah kata “ رجع/ pulang “ jar
majruur menerangkan asal kepulangan khalid.
2.
Fi’il dan Na’ib Fa’il
Na’ib Fa’il (pengganti Fa’il) adalah
Maf’ul yang tidak disebutkan Fa’ilnya, oleh karenanya Na’ib fa’il ini juga
disebut dengan المفعول الذي لم يسم فاعله yang berarti Maf’ul yang tidak disebutkan Fa’ilnya.
Na’ib fa’il ini hukumnya Marfu’ artinya huruf akhirnya ditandai dengan
tanda-tanda rafa’.
Untuk membuat tarkib ini Fi’il harus diubah dari Mabniy
Ma’lum ke Fi’il Mabni Majhul.
Artinya
|
الكلمات
|
Telah diciptakan
manusia itu
|
خلق الإنسان
|
Telah dipukul
anjing itu
|
ضرب الكلب
|
Telah dipecah kaca
itu
|
كسرت الزجاجة
|
Telah dibuka
pintu itu
|
فتح الباب
|
Telah dicuri
harta itu
|
سرق المال
|
Telah dilakukan
perbuatan yang mungkar
|
عمل عمل منكر
|
Penjelasan
:
1. Kalimat di atas adalah tarkib Fi’il dan Na’ib Fa’ilnya. Tidak
disebutkan Fa’il dalam tarkib ini ada beberapa sebab diantaranya :
a.
Fa’il secara umum telah
diketahui, sehingga tidak membutuhkan untuk disebut, seperti, “ خلق الإنسان “ yang asalnya, “خلق الله
الإنسان“ maka Fa’il yaitu الله tidak disebut kemudian kata “الإنسان“
menggantikan posisi Fa’il yang terbuang dalam i’rab Rafa’nya.
b.
Fa’il tidak diketahui,
seperti : سرق المال/harta itu dicuri, ataupun sebenarnya
pelaku diketahui tetapi takut untuk menyebutkannya karena pelaku itu orang yang
sangat jahat dan kejam.
c.
Menjaga nama baik
pelaku, seperti : عمل عمل
منكر/dilakukan perbuatan mungkar itu, ini kalau pelaku diketahui sebagai
orang yang terhormat dan tidak disebutkan untuk menjaga nama baiknya.
d.
Dan sebab-sebab lain sesuai
tujuan yang akan membuat kalimat dengan tarkib seperti ini.
2. Tarlib Fi’il dan Na’ib Fa’ilnya ini tidak boleh menyebutkan Fa’ilnya,
bila akan menyebutkannya harus ditarkib dengan bentuk Fi’il dan Fa’il seperti
pada pembahasan yang lalu.
3. Dalam bahasa indonesia kalimat ini dinamakan kalimat Pasif,
penyusunannya boleh menyebutkan pelakunya, sebagai contoh : “ Copet itu dihajar
Masa “, atau “ Anjing itu telah dipukul Farid “ dll. Kalimat seperti ini tidak
dapat di terjemah kedalam bahasa arab tanpa mengubahnya menjadi kalimat Aktif,
sehingga kalau dibuat dalam bahasa arab harus diubah menjadi Mabniy Ma’lum
sehingga menjadi : ضرب
فريدن الكلب /فريد ضرب الكلب.
4. Na’ib Fa’il ada yang berupa isim dhahir seperti ضرب
الكلب dan adapula yang berupa
isim Dhamir seperti ضربت, نصرت,
هديت, dll.
5. Na’ib Fa’il adapula yang berupa jarr majruur, seperti جلس على/diduduki kursi itu.
6. Na’ib Fa’il kaidah tarkibnya sama dengan Fi’il dan Fa’ilnya,
baik dalam penyesuaian Mudzakkar dan Muannatsnya maupun dalam Mufrad Mutsanna Jamaknya.
B.
Fi’il Ma’lum dan Fi’il Majhul
Fi’il ma’lum merupakan bentuk kata
yang menunjukkan perbuatan yang bersifat aktif, sehingga kalimat tersebut
nantinya akan menjadi kalimat aktif. Sementara Fi’il Majhul merupakan bentuk
kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang bersifat pasif, sehingga kalimat
tersebut nantinya akan menjadi kalimat pasif.
Fi’il
Ma’lum
|
Arti
|
Fi’il
Majhul
|
Arti
|
|
يضرب
|
Memukul
|
يضرب
|
Dipukul
|
|
يكتب
|
Menulis
|
يكتب
|
Ditulis
|
Pada tabel di atas menunjukkan
perbedaan antara Fi’il Ma’lum dan Fi’il Majhul. Yaitu Fi’il Ma’lum subyeknya
menjadi pelaku, sementara Fi’il Majhul subyeknya menjadi sasaran. Sperti contoh
berikut ini; يضرب
احمد فاطمة (Ahmad memukul Fatimah), kata Ahmad menjadi pelaku karena Fi’ilnya berupa Fi’il Ma’lum,
sementara contoh berikut; يضرب احمد (Ahmad
dipukul), maka kata Ahmad menjadi sasaran pukulan karena Fi’ilnya berupa Fi’il
Majhul.
Dari sini terlihat bahwa, makna Fi’il
Ma’lum adalah Fi’il yang pelakunya disebut sehingga dinamakan Ma’lum, sementara
makna Fi’il Majhul adalah Fi’il yang pelakunya tidak disebut sehingga dinamakan
majhul atau tidak diketahui.
Adapun bentuk-bentuk Fi’il Ma’lum
diantaranya semua yang sudah dibahas pada
bagian Fi’il sebelumnya, sementara perubahan menjadi Fi’il Majhul adalah
sebagai berikut :
1. Fi’il Majhul
dari Fi’il Madhi yaitu dengan huruf pertamanya dibaca dhommah dan huruf kedua
dibaca kasrah, sementara sifat-sifat yang lainnya tetap.
Contohnya:
kata ضرب menjadi ضرب
Yaitu
huruf ضdibaca dhommah dan ر dibaca kasrah.
-
Demikian juga untuk Fi’il Mudhaaf juga memberlakukan
seperti di atas yaitu مد dibuat Fi’il Majhul menjadi مدد kemudian disingkat menjadi مد.
-
Untuk Fi’il bina Ajwaf mengganti huruh
illat dengan huruf Ya karena menyesuaikan harakatnya yang kasrah,
kemudian harakat tersebut dipindah kehuruf pertama. Contohnya قال
diubah majhul menjadi قولkemudian huruf Wawu diganti Ya dan
harakatnya diberikan pada harakat sebelumnya yaitu Qof sehingga menjadi قيل.
-
Untuk bina Naqish, tetap menggunakan rumus asal dengan
melibatkan huruf illat yang terletak di belakang. Contohnya : قضي menjadi
قضى .
-
Demikian juga pada Fi’il Mazid maupun Fi’il Ruba’i
Mujarrad, maka harakat fathah yang jatuh setelah huruf pertama, diubah menjadi
harakat dhammah. Contohnya :
Fi’il Ma’lum
|
Fi’il Majhul
|
جوهد
|
جوهد
|
علم
|
علم
|
اسلم
|
اسلم
|
تضورب
|
تضورب
|
تعلم
|
تعلم
|
استغفر
|
استغفر
|
انتصر
|
انتصر
|
تفلل
|
تفلل
|
Fi’il-Fi’il Majhul tersebut dibaca kasrah pada huruf sebelum
terakhir dan dibaca dhommah pada huruf-huruf pertama termasuk huruf setelahnya
yang berharakat fathah.
1. Fi’il Majhul
dari Fi’il Mudhari’ yaitu dengan huruf pertamanya dibaca dhommah dan huruf
sebelum huruf terakhir dibaca fathah, sementara sifat-sifat yang lainnya tetap.
Contohnya
: kata يضرب menjadi يضرب
Yaitu
huruf ي dibaca dhommah dan ر
dibaca fathah.
-
Demikian juga untuk Fi’il Mudhaaf juga memberlakukan
seperti di atas yait يمد
dibuat
Fi’il Majhul menjadi يمد.
-
Untuk Fi’il bina Ajwaf mengganti huruf illat dengan
huruf Alif karena menyesuaikan harakatnya yang fathah, kemudian harakat
tersebut dipindah kehuruf pertama. Contohnya يقولdiubah majhul menjadi يقولkemudian huruf Wawu diganti Alif dan
harakatnya diberikan pada harakat sebelumnya yaitu Qof sehingga menjadi يقال
.
-
Untuk bina Naqish, tetap menggunakan rumus di atas
tetapi huruf illat tidak berharakat kecuali kemasukan tanda nasab atau jazm.
Contohnya : يقضي menjadi
يقضى.
-
Demikian juga pada Fi’il Majid maupun Fi’il Ruba’i
Mujarrad, namun perubahan harakat dhammah hanya terjadi pada huruf pertama saja
sementara yang lain harakatnya tetap. Adapun contohnya sebagai berikut :
Fi’il Ma’lum
|
Fi’il Majhul
|
يجاهد
|
يجاهد
|
يعلم
|
يعلم
|
يسلم
|
يسلم
|
يتضارب
|
يتضارب
|
يتعلم
|
يتعلم
|
يستغفر
|
يستغفر
|
ينتصر
|
ينتصر
|
يتفعلل
|
يتفعلل
|
Fi’il-Fi’il Majhul tersebut dibaca fathah pada
huruf sebelum terakhir dan dibaca
dhommah pada huruf pertama, sementara harakat yang terjadi setelah huruf
pertama tetap dibaca seperti semula ( tidak seperti Fi’il Madhi ).
C.
Taqdim dan Ta’khir
Taqdim dan Ta’khir terdapat pada
jumlah fi’liyyah maupun jumlah ismiyyah, taqdim dan ta’khir pada jumlah
ismiyyah maka kita akan mendapatkannya pada mubtada’ dan khobar, yang disebut
dengan mubtada’ muakhor atau khobar muqoddam, namun pada kesempatan kali ini kami
akan membahas tentang taqdim dan ta’khir pada jumlah fi’liyyah, yaitu yang
dimana maf’ul bihi didahulukan dari fa’il.
Setiap
jumlah fi’liyyah dalam tatanan bahasa arab pada umumnya terdiri dari fi’il,
fa’il, dan maf’ul bihi sebagai pelengkap. Dan maf’ul bihi bisa terdiri dari dua
atau tiga maf’ul bihi, akan tetapi sering terjadi padanya pengedepanan ataupun
pengakhiran, terjadinya pengedepanan maf’ul bihi atas fa’il itu terdapat
beberapa sebab-sebab, yaitu :
a. Wajibnya
pengedepanan maf’ul bihi atas fa’il, yaitu apabila sebuah kalimat tidak dapat
dianggap sebagai kalimat yang benar kecuali apabila maf’ul bihi didahulukan
dari fa’ilnya, maka tidak diperbolehkan pada jumlah fi’liyyah ini untuk fa’il
didahulukan dari maf’ul bihinya.
1.
Seperti yang terdapat pada isim dari isim-isim syarth,
contoh : (ومن يضلل الله فما له
من هاد)
dan pada kalimat ini maf’ul bihinya adalah (من)
dan dia termasuk dalam isim syarth yang mana isim syarth didahulukan atas fa’il
dan fi’il.
2.
Isim dari isim-isim istifham, contoh : (أيَّهم تُكرم أُكرِم) dan disini maf’ul bihinya
adalah (أي) dan dia termasuk isim dari isim-isim
istifham.
3.
(كم) al khobariyah, contoh : (كم قصة قرأت؟)
dan disini (كم) alkhobariyah sebagai maf’ul
bihi didahulukan.
4.
Apabila maf’ul bihi dalam bentuk dhomir muttashil dan
fa’ilnya adalah isim dhohir, contoh : (أخبرني سعيد)
maka pada kalimat ini maf’ul bihinya adalah yaa’ almutakallim dalam kata
(أخبرني) dan fa’ilnya adalah (سعيد) yang merupakan isim dhomir.
5.
Apabila fi’il terdapat setelah (فاء)
yang terletak sebagai jawaban dari (أما), contoh : (فأما اليتيم فلا
تقهر)
b. Bolehnya
mendahulukan maf’ul bihi atas fa’il ataupun sebaliknya.
Adapun maksud dari
boleh disini adalah, bahwasannya diperbolehkan untuk menggunakan dalam dua
bentuk, yaitu mendahulukan fa’il atas maf’ul ataupun mendahulukan maf’ul atas
failnya.
Contoh : (راميا أعطيتُ) maka pada kalimat ini
diperbolehkannya mendahulukan maf’ul bihi atas fa’il ataupun sebaliknya (أعطيتُ راميا).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Jumlah Fi’liyah
terdiri dari Fi’il dan Fa’ilnya atau Fi’il dan Naib Fa’ilnya :
Tarkib Fi’il dan Fa’il adalah bentuk susunan kalimat yang
diawali Fi’il kemudian Fa’ilnya, Fi’il adalah kata kerja dan Fa’il adalah isim
(kata benda)/Subjek yang dibaca
Marfu’/Rafa’ yang terletak sesudah Fi’ilnya. Sedangkan Na’ib Fa’il (pengganti
Fa’il) adalah Maf’ul yang tidak disebutkan Fa’ilnya, oleh karenanya Na’ib fa’il
ini juga disebut dengan المفعول الذي لم يسم فاعله yang berarti Maf’ul yang tidak disebutkan Fa’ilnya. Na’ib fa’il
ini hukumnya Marfu’ artinya huruf akhirnya ditandai dengan tanda-tanda rafa’.
2. Fi’il ma’lum
merupakan bentuk kata yang menunjukkan perbuatan yang bersifat aktif, sehingga
kalimat tersebut nantinya akan menjadi kalimat aktif. Sementara Fi’il Majhul
merupakan bentuk kata kerja yang menunjukkan perbuatan yang bersifat pasif,
sehingga kalimat tersebut nantinya akan menjadi kalimat pasif.
3. Taqdim dan
Ta’khir pada jumlah fi’liyah ; sebab-sebab terjadinya pengedepanan maf’ul bihi
atas fi’il :
a. Wajibnya
pengedepanan maf’ul bihi atas fa’il, yaitu apabila sebuah kalimat tidak dapat
dianggap sebagai kalimat yang benar kecuali apabila maf’ul bihi didahulukan
dari fa’ilnya, maka tidak diperbolehkan pada jumlah fi’liyyah ini untuk fa’il
didahulukan dari maf’ul bihinya.
b. Bolehnya
mendahulukan maf’ul bihi atas fa’il ataupun sebaliknya.
B. Saran
Makalah ini kami rangkum dari
berbagai sumber, namun sumber yang menjadi rujukan kami sangat terbatas
sehingga hasilnya pun tidak maksimal. Karena itu, kami sebagai penulis membuka
diri untuk menerima saran-saran dari para pembaca agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
-
Habib, M. Abdullah., Ilmu Nahwu: CV, ASWAJA PRESSINDO,
Yogyakarta, 2004.
-
Hilmi, Danial., Cara Mudah Belajar Nahwu Shorof: UIN
MALIKI PRESS, Malang, 2012.
-
Burdah, Ibnu., Menjadi Penerjemah: TIARA WACANA YOGYA,
Yogyakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar